Oleh Saikhul Hadi dalam buku ‘Cermin Hati’


Sejak sang ayah meninggal, kemiskinan senantiasa merundung keluarga itu yang terdiri dari seorang anak perempuan dan ibunya. Usaha menjual susu domba yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga tidak banyak mendatangkan keuntungan. Namun, mau bagaimana lagi, usaha tersebut terus dijalankan dengan penuh keprihatinan dan kejujuran. Yang selalu berkeluh kesah justru sang ibu. Sang ibu sudah jenuh dan bosan menghadapi kesulitan hidup.

Beberapa kali sang ibu menasihati anak gadisnya agar tidak terlalu jujur dalam berjualan, baik mengenai takaran maupun kualitas barang dagangannya. Namun, si gadis selalu menolak permintaan ibunya karena selalu ingat dengan firman Allah : Celakalah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta di penuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al-Muthaffifin [83]: 1-3)

Pada suatu malam terjadi percakapan yang cukup keras antara sang ibu dan gadis. “Hai, anakku, bangunlah. Sekarang sudah larut malam. Campurlah susu itu dengan air, agar kita mendapatkan keuntungan yang banyak,” perintah sang ibu.

    “Tidak, ibu. Aku tidak sanggup melakukannya.”

    “Jangan membantah apa yang aku perintahkan. Sadarlah bahwa kita ini orang miskin. Kita butuh makan.”

    “Walau demikian, aku tetap tidak sanggup ibu. Aku ingat nasihat khalifah.”

    “Apa perintahnya?”

    “Khalifah mengatakan kepada semua penjual susu di negeri ini agar tidak mencampur susu dengan air karena mengharap keuntungan yang banyak.”

    “Tapi, sekarang tengah malam, tidak ada yang tahu, bila kita mencampur susu dengan air.”

    “Walaupun tidak ada yang melihat, termasuk khalifah dan para tentaranya tidak melihat, tapi ada yang selalu melihat kita, ibu.”

    “Siapa yang melihat kita di tengah malam begini?”

    “Tuhannya Khalifah Umar, yang juga Tuhan kita semua. Tuhan alam semesta. Dia akan tetap melihat kita walaupun kita berada di lubung semut dan di tengah malam paling gelap sekalipun. Ibu, demi Allah, aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menaati perintah-Nya di tempat ramai dan durhaka di tempat sepi.

Sang ibu terdiam, hatinya marah dan kesal melihat anak gadisnya yang tidak mau menuruti perintahnya, malah balik memberi nasihat. Tapi dalam hati, sang ibu kagum melihat pendirian anaknya.

Malam itu rupanya Khalifah sedang meronda seperti biasa. Salah satu kebiasaan khalifah ini adalah melihat kondisi rakyatnya di malam hari dengan cara menyamar. Dengan begitu, khalifah tahu apa yang dialami oleh rakyatnya.

Malam itu Khalifah melihat rumah yang masih terang walaupun sudah tengah malam. Khalifah mendekati rumah itu, lalu mendengarkan percakapan antara dua perempuan tadi.

Keesokan harinya, Khalifah Umar memerintahkan untuk menyelidiki gadis jujur itu. Dari hasil penyelidikannya, Khalifah berkesimpulan, “Sudah sepatutnya, gadis jujur itu memperoleh imbalan yang besar.”

Beberapa hari kemudian, Khalifah memanggil putranya yang masih bujangan. “Anakku, andaikata aku jodohkan engkau dengan seorang gadis jujur, takwa kepada Allah di kala sunyi dan ramai, bagaimana pendapatmu?” tanya Khalifah. Diceritakannya tentang kepribadian gadis jujur penjual susu yang mengagumkan itu, dan tentang semua pengalaman di malam yang terkesan itu.

    “Bila ayah memiliki pilihan begini, alangkah senang hatiku. Sekarang sangat sukar mencari gadis yang sejujur itu.”

Khalifah Umar sangat senang mendengar jawaban putranya. Kemudian dia segera pergi meminang gadis jujur penjual susu untuk putranya. Betapa terkejut ibu gadis itu melihat Khalifah Umar datang ke rumahnya. Apa kesalahannya? Bukankah dia tidak jadi menipu dengan mencampur susu dengan air. Semua itu berkat kata-kata anaknya. Dalam hati sang ibu berdoa, “Ya Allah lindungilah hambamu dari fitnah manusia.”

Setelah mengucapkan salam, Khalifah berkata, “Bolehkah kami bertemu?”

    “Gerangan apakah yang membawa Khalifah berkunjung ke gubuk kami yang hampir rubuh ini?” jawab sang ibu.

    “Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk meminang putri ibu untuk menjadi istri anak kami yang bujang, Ashim.”

Betapa terkejut bercampur gembira ketika sang ibu mendengar kata-kata khalifah. Tidak salahkan ia mendengar bahwa anak gadisnya hendak dipinang oleh putra Khalifah?

Apalagi dia adalah Khalifah yang dikagumi oleh rakyatnya. Mimpi pun ia belum pernah. Melihat sang ibu kebingungan, khalifah berujar lagi, “Bagaimana pendapat Ibu?”

    “Baik, akan kutanyakan dahulu kepada anakku. Kiranya Khalifah berkenan menunggu sebentar.”

Tak lama kemudian, sang ibu kembali dan berkata, “Tidak aku peroleh jawaban darinya, Khalifah. Namun kulihat wajahnya berseri-seri.”

    “Baiklah. Rasul pernah berkata, ‘Diamnya seorang gadis yang dipinang menandakan kerelaan hatinya.’

Berlangsunglah pernikahan antara gadis jujur itu dan putra Khalifah Umar, Ashim. Sejak itu pula kehidupan gadis jujur dan ibunya berubah, dari gubuk kecil yang miskin pindah ke rumah yang lebih layak. Sang ibu merasa sangat bersyukur kepada Allah karena dibahagiakan anaknya.

Suatu hari, gadis jujur itu bertanya kepada suaminya, Ashim mengapa memilihnya menjadi menantunya. “Khalifah adalah orang yang tidak membedakan manusia. Sebab, sesungguhnya manusia diatas dunia ini sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya,” jawab Ashim.

    “Namun, di mana Khalifah mengenalku. Padahal aku belum pernah berjumpa dengan khalifah.”

Kemudian, diceritakanlah peristiwa malam itu, ketika khalifah sedang meronda.

    “Semoga kejujuran dan ketakutan kepada Allah Swt. Senantiasa tetap lestari padamu,” kata Ashim.

    “Semoga begitu,” kata gadis jujur itu.

Hikmah :
Kejujuran itu laksana mutiara yang memancarkan cahaya. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terpesona dan mendambakannya.